THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 23 Oktober 2010

Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary

Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.

Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad, bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720.
Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.
Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.
Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.
Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.
Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.

Selengkapnya »»

Jumat, 22 Oktober 2010

Kisah syekh Abulung

Sejarah mencatat, bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia –dan juga di Tanah Banjar– tidak hanya didominasi oleh aliran tasawuf akhlaki yang dikenalkan sufi Hasan al-Basri ataupun Junaid al-Baghdadi, tetapi juga aliran tasawuf wahdatul wujud yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M) dengan paham al-Fana al-Baqa dan al-Ittihad, Husien ibnu Mansur al-Hallaj (858-922 M) dengan paham al-Hulul, dan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165 M-1240), dengan teori Khalq dan al-Haq.

Pengaruh pemikiran tasawuf wahdatul wujud terlihat dari paham tasawuf yang disampaikan Hamzah Fansuri (dari Aceh), Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Sumatera), Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti-nya (Jawa). Sementara, untuk kawasan Kalimantan, khususnya Tanah Banjar tokoh tasawuf yang dianggap wahdatul wujud dan sangat populer adalah Syekh Abdul Hamid Abulung.

Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan menggemparkan berbagai kalangan dan masyarakat luas, karena ajaran tasawuf wahdatul wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya –yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku– disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan. Siapakah Syekh Abdul Hamid Abulung dan bagaimana paham tasawuf wahdatul wujudnya?

Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sejarah hidup dan pemikiran Syekh Abulung sebagai salah seorang icon khazanah intelektual Islam Banjar sangat sedikit, dan bisa dihitung dengan jari. Dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang mengupas tentang riwayat hidup, perjuangan, pemikiran dan karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, atau pula pula Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husien al-Banjari yang meninggalkan karya tulis Ad-Durr al-Nafis dan namanya termaktub dalam salah satu entri di Ensiklopedi Islam Indonesia, sehingga dikenal tidak hanya di Tanah Banjar akan tetapi juga di Asia Tenggara. Lebih-lebih lagi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, penulis kitab Sabil al-Muhtadin.

Secara khusus, Syekh Abdul Hamid memang tidak meninggalkan karya tulis yang bisa dirujuk untuk mengkaji paham tasawufnya, tahun kelahirannyapun tidak diketahui secara pasti. Karena itulah dan sampai sekarang figur tokoh ini masih menyisakan sejumlah misteri, baik berkenaan dengan riwayat hidup maupun ajaran tasawufnya. Walaupun demikian, dalam salah riwayat misalnya hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun 1148 H/1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788M. Sementara, ketika hukuman mati diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah II (1785-1808 M), di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.

Berdasarkan pendapat ini, maka hitungan usia Syekh Abdul Hamid jelas lebih muda dari usia Syekh Muhammad Arsyad, yang dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M, kurang lebih bertaut 25 tahun.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung (Sungai Batang, Martapura), yang bersebelahan dengan Kampung Dalam Pagar, yang dilekatkan dibelakang namanya. Karena sudah menjadikan kebiasaan untuk melekatkan atau menisbatkan nama seorang tokoh dengan nama tempat berasalnya, seperti Abdul Qadir “Jailani”, Imam “Nawawi”, Junaid “al-Baghdadi”, Muhammad Arsyad “al-Banjari”, dan sebagainya. Bahkan diungkapkan pula bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang putra Banjar yang diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama oleh Sultan, bersamaan dengan keberangkatan Syekh Muhammad Arsyad. Bedanya ketika di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad lebih mendalami ilmu syariat –di samping tasawuf–, sedangkan Abdul Hamid lebih mendalami ilmu hakikat (tasawuf) yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, karenanya ketika mereka kembali ke daerah ilmu yang mereka ajarkan kepada masyarakatpun sesuai dengan mengutamakan spesifikasi keahlian masing-masing. Pendapat ini dikaitkan dengan kelahiran Abdul Hamid, lemah argumentasinya. Karena rasanya tidak mungkin, sebab waktu berangkat ke Mekkah umur Syekh Muhammad Arsyad kurang lebih 30 tahun, sementara umur Abdul Hamid waktu itu baru 5 tahun, jika benar Syekh Abulung dilahirkan pada tahun 1735.

Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan Humaidy (Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang tokoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural, dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Di samping itu, secara umum syekh juga mengisyaratkan bahwa penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain atau Mekkah dan Madinah (hal ini sinkron dengan pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Hamid juga menuntut ilmu ke Mekkah)) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun Abdul Hamid tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Lebih dari itu, sebutan syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarekat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau badal.

Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat, sehingga harus dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh Abdul Hamid yang meresahkan, sehingga perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar.

Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap sultan, yang pada akhirnya oleh pihak kerajaan ia divonis hukuman dimasukan dalam kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya pada Sultan Banjar, dan pada cucuran darahnya kemudian membentuk tulisan kalimat tauhid laa ilaha illallah.

Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid Abulung tersebut didasarkankan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun menurut tulisan dan wawancara penulis dengan Abu Daudi (penulis buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar), bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian orang, sehingga kata mereka lantaran peristiwa hukum bunuh atau mati terhadap diri Syekh Abdul Hamid itu, mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak sehat diantara kedua keluarga tersebut, yang sampai sekarang katanya masih dirasakan oleh zuriat dari kedua belah pihak. Pendapat yang demikian sama sekali tidak benar. Meskipun Sultan melibatkan Syekh Muhammad Arsyad untuk dimintai pendapat, namun Syekh Muhammad Arsyad tetap mengembalikannya kepada Kerajaan dan menasihatkan agar dapat diselesaikan secara seksama dan bijaksana.

Hal menarik dikaji, pungkala umum yang menjadi sebab dihukum bunuhnya Abdul Hamid menurut tesis umum yang dipegang adalah karena ajaran Ilmu Sebuku atau paham tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Abdul Hamid, benarkah demikian? Untuk menjelaskan hal ini, menarik kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, Ibnu Arabi, ataupun Husien Manshur Al-Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid tidak bisa dimasukan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku” Atau pula jika dibandingkan dengan paham hulul-nya Al-Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada hanya wujud Tuhannya, sementara Al-Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu Arabi yang sudah memakai kata “Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai kata “Dia”.

Lalu jika tidak paham tasawuf yang dianutnya yang menjadi penyebabnya sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansuri dan pengikutnya, Siti Jenar dan murid-muridnya, kira-kira apalagi? Apakah karena intrik dan manipulasi politik ataukah sejarah? Perlu penelitian dan penelusuran kembali jejak-jejak khazanah sejarah Banjar silam guna mengungkapkan fakta kebenaran, untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran generasi sekarang, menapak masa depan yang lebih cemerlang.

DATU ABULUNG
Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan, pada abad ke-18 terdapat tiga tokoh yang terkenal, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh'Abd Al-Hamid Abulung, dan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (Zafry Zamzam, 1979). Dua yang pertama, makamnya terdapat di daerah Martapura, sementara yang terakhir terdapat di daerah Hulu Sungai Utara (Amuntai).

Dibandingkan dengan kubah (makam) Syekh Arsyad Al-Banjari (1707-1812 M) yang di tanah seribu sungai ini lebih dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan, kubah Syekh 'Abd Al -Hamid Abulung, yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Abulung, tentu saja kurang terkenal. Ini disebabkan, selain karena tidak memiliki karya tulis, 'Abd Al-Hamid juga bisa dikatakan senasib dengan Syekh Siti Jenar di jawa yang meninggal karena dibunuh para wali akibat perselisihan mengenai pandangan keagamaan dalam tasawuf.

Baik Syek Siti Jenar maupun Syekh 'Abd Al-Hamid Abulung, keduanya sama-sama mengajarkan satu cabang filsafat yang kini kurang populer, yaitu metafisika. Pemikiran mereka sama dengan pemikiran Henry Bergson pada masa modern, Lao Tse dan Krishnamurti. di Timur, Paraselsus dan Plato serta Plotinus di masa Yunani, serta beberapa filusuf awal dalam pemikiran Islam.

Meskipun demikian, nasib Syekh 'Abd Al-Hamid agaknya lebih beruntung ketimbang Siti Jenar, sebab ia nyaris tidak memiliki citra yang pejoratif. Setidaknya ini tersirat dalam kenyataan bahwa dalam tradisi mamangan (bacaan semacam doa) Banjar, namanya juga sering disebut dan disandingkan dengan Syekh Arsyad Al-Banjari. Hal ini membuktikan, meskipun ajarannya dianggap menyimpang oleh jumhur ulama Banjar, namun di mata masyarakat Syekh 'Abd Al-Hamid tetap dianggap wali.

Histrogafi Syekh 'Abd Al-Hamid
Sukar melacak kapan tepatnya saat Syekh 'Abd Al-Hamid dilahirkan. Seperti halnya Syekh Siti Jenar, kehidupan Syekh 'Abd Al-Hamid pun secara umum sukar dilacak datanya. Namun demikian, yang pasti ia menyaksikan Kesultanan Banjar dipimpin oleh Sultan Tamhid Allah, yang berkuasa pada 1778-1808 M.

Di masa kekuasaan Sultan Tamhid Allah, kondisi politik Kesultanan Banjar mulai tidak kondusif. Perebutan kekuasaan antar pembesar kesultanan seringkali terjadi. Hal inilah yang mendorong Sultan Tamhid Allah bekerjasama dengan Belanda, untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai kompensasinya, Sultan Tamhid Allah harus menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya kepada Belanda. Hal ini terjadi pada 1787 M (Kutoyo dan Sri Sutjianingsih, 1977).

Meski kondisi politik Kesultanan Banjar tidak lagi kondusif, Banjar tetap menjadi pusat perdagangan yang paling strategis di wilayah Kalimantan. Kekayaan alamnya yang melimpah, seperti intan, emas, lilin, damar dan sarang burung walet yang merupakan komoditas internasional paling laris, menyebabkan Banjar tetap menjadi incaran para pedagang dari jawa, Makassar, Portugis, Inggris, dan Belanda. Ini artinya, Kesultanan Banjar yang terletak di pesisir pantai selatan Kalimantan merupakan wilayah terbuka, baik untuk kepentingan dagang, politik, maupun penyebaran agama.

Walaupun Kesultanan Banjar dikenal sangat terbuka bagi masyarakat pendatang dari berbagai penjuru dunia, yang berbeda etnik maupun agama, para pembesar kesultanan dikenal sangat taat memeluk Islam. Untuk menunjang spiritualnya itu, para penguasa Banjar mengangkat para ulama menjadi guru spiritualnya, sekaligus menjadi pejabat-pejabat kesultanan.

Konon Syekh 'Abd Al-Hamid, dalam salah satu sumber, pernah mendapatkan perlakuan istimewa oleh para Kesultanan Banjar. Dalam penelitian H.A. Rasyidah disebut Syekh 'Abd Al-Hamid pernah menjabat posisi strategis di Kesultanan Banjar tepatnya sebagai mufti (Rasyidah: 1990). Tapi tampaknya, hasil penelitian H.A. Rasyidah kurang bisa diterima oleh kalangan sejarawan. Pasalnya, seperti diutarakan Zafry Zamzam Steenbrink, dan Azyumardi Azra, kedatangan Syekh 'Abd Al-Hamid ke Kalimantan Selatan, adalah beberapa tahun setelah Arsyad Al- Banjari kembali dari Arabia. Padahal, Arsyad Al-Banjari langsung diangkat menjadi mufti. Pertanyaannya, kalau Arsyad Al-Banjari diangkat mufti sekembalinya dari Arabia, lantas kapan 'Abd Al-Hamid berkesempatan menjadi mufti?

Terlepas kontroversi jelas 'Abd Al-Hamid pernah leluasa mengajarkan pandangan tasawuf wahdah al-wujud (wujudiyyah) Ibn 'Arabi' (1165-1240). Pandangan tasawuf wahdah al-wujud yang dianut Syekh 'Abd Al-Hamid ini dipengaruhi aliran ittihad-nya Abu Yazid Al-Busthami (w. 873 H) dan hulul-nya Al-Hallaj (w. 923 H) yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumatrani serta Syekh Siti Jenar dari jawa.

Perlu dicatat disini, agaknya puritanisme ajaran tasawuf Hamid ini banyak dipengaruhi kondisi sosial Kesultanan Banjar yang sangat terbuka bagi siapapun yang ingin "berinvestasi," termasuk aliran agama di Banjar. Keterbukaan yang dikondisikan inilah, yang memudahkan Syekh 'Abd Al-Hamid mempelajari tulisan-tulisan para penganut tasawuf falsafi tersebut.

Kesempatan Syekh 'Abd Al-Hamid mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai mendapatkan sandungan ketika tersiar sampai ke telinga Sultan Tamhid Allah dan Syekh Arsyad Al-Banjari bahwa ajaran yang dibawanya dianggap meresahkan masyarakat Dilaporkan, 'Abd Al-Hamid mengajarkan orang-orang, bahwa "tidak ada wujud kecuali Allah. Tidak ada 'Abd Al-Hamid kecuali Allah; Dialah aku dan akulah Dia. Dan sangat kebetulan, Syekh Muhammad Arsyad, sebagai penganut ajaran Syekh b. 'Abd Al-Karim Al-Sammani Al-Madani guru dari tokoh-tokoh tarekat Sammaniyyah Nusantara memang tidak sepakat dengan Wujudiyyah-nya Syekh 'Abd Al-Hamid dan bahkan menganggapnya musyrik.

Akibat dari pernikirannya inilah, Syekh 'Abd Al-Hamid Abulung hidupnya di tangan para algojo Kesultanan Banjar. la dihukum mati oleh keputusan Sultan Tamhid Allah, atas Pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar (Alfani Daud, 1997). Peristiwa ini, hingga kini belum bisa ketahui secara pasti, kecuali hanya dugaan terjadi pada awak abad ke-18, dimana eksekusinya dilakukan di Abulung, yang kini termasuk wilayah kampung Sungai Batang, Martapura, Kalimantan Selatan. Makamnya sendiri sempat tidak diketahui oleh masyarakat, seperti dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar, yang hingga kini makamnya masih menjadi misteri.

Baru belakangan makamnya diketahui terletak kira-kira dua atau tiga kilometer di sebelah hilir Dalam Pagar -kampung yang dikenal sebagai tempat menuntut ilmu keagamaan di Kalimantan Selatan (A. Steenbrink, 1984), dalam kondisi tidak berpagar. Kuburan ini ditemukan atas petunjuk tuan guru (kiai) Haji Muhammad Nur, seorang ulama dan guru tarekat di Takisung (Kabupaten Tanah Laut), yang kemudian dibangunkan kubah-nya. Tuan guru Haji Muhammad Nur sendiri mengaku sebagai keturunan langsung dari Syekh 'Abd Al-Hamid.

Hingga kini, makam Syekh'Abd Al-Hamid masih banyak dikunjungi umat Islam karena dianggap memiliki karamat. Di antara karamat-nya yang nampak adalah makamnya, yang berada di pinggir sungai, tak bisa dihanyutkan air. Padahal makam tersebut sering tergerus air. Namun ketika makam itu telah turun, secara ajaib makam itu naik lagi dan tanah pun menyangga makam itu lagi.

Pemikiran Syekh 'Abd Al-Hamid
Berbeda dengan Syekh Arsyad yang terkenal karena magnum opus-nya, Sabilal-Muhtadin -buku fiqh berbahasa Melayu- yang menentang doktrin wujudiyyah mulhid, Syekh 'Abd Al-Hamid dinilai kering karya. Karena hingga kini, hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh 'Abd Al-Hamid mengenai tasawuf yang bisa dilacak, dan itupun sangat terbatas. Di Banjar sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh 'Abd Al-Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai "Asal Kejadian Nur Muhammad". Namun, tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.

Sebagai penganut paham tasawuf falsafi, Syekh'Abd Al-Hamid menyindir bahwa ilmu keagamaan yang diajarkan selama ini hanyalah kulit "syariat," belum sampai kepada isi "hakikat". Selain itu salah satu ujarannya yang cukup dikenal adalah berupa konsep: "Tiada maujud, melainkan hanya Dia, tiada wujud yang lainnya. Tiada aku, melainkan Dia dan aku adalah Dia...". (Zamzam, 1979). Doktrin tasawuf ittibad dan hulul yang seringkali mengumandangkan pandangan tentang kesatuan makhluk dan Tuhan tersebut tentu saja menantang otontas istana dan ulama secara telak.

Pasalnya, manakala istana membutuhkan agar rakyat mengakui otoritasnya yang tinggi dan terhubung dengan ilahi, pandangan yang menyatakan bahwa yang ilahi justru terdapat dalam segala makhluknya tersebut jelas merupakan pandangan yang subversif. Oleh karena itu, ketika Syekh 'Abd Al-Hamid mengajarkan ajaran ini pada masyarakat umum jelas kalangan istana sangat khawatir. Atas dasar itulah Sultan Tahmid Allah yang memerintah Kesultanan Banjar masa itu memanggil Syekh Abd Al-Hamid ke istana.

Kemudian, diutuslah para punggawa untuk menjemputnya. Ketika para punggawa telah sampai di depan rumah Syekh 'Abd Al-Hamid, mereka menyeru bahwa Sultan memang agar ia segera pergi ke istana untuk menghadap. Di luar dugaan c ari rumah Syekh 'Abd Al-Hamid suara: "Di sini tidak ada 'Abd Al-Hamid yang ada hanyalah Allah (Tuhan)." Para punggawa yang tak pernah menghadapi hal ini akhirnya kembali ke istana untuk melapor. Mereka lalu disuruh ke untuk menjemput (si) Allah/ 'Abd Al-Hamid itu. Ketika di depan rumah Syekh 'Abd Al-Hamid, para pun menyeru bahwa (si) Allah diminta datang ke istana. Dari dalam keluar seruan, "Allah tidak bisa diperintah. Dan, di sini tidak ada Allah yang ada hanyalah 'Abd Al-Hamid." Para punggawa kembali lagi ke dengan tangan kosong. Lantas mereka diperintah agar memanggil dan membawa keduanya baik Allah maupun si 'Abd Al-Hamid. Kembalillah para punggawa itu dan barulah 'Abd Al-Hamid turut serta.

Prosesi persidanganpun, dengan terdakwa utama Syekh 'Abd Al-Hamid digelar. Pihak istana Sultan Tahrnid Allah atas fatwa Syekh Arsyad Al-Banjari akhirnya memutuskan bahwa Syekh 'Abd Al-Hamid bersalah dan harus dihukum mati karena mengajarkan ajaran-ajaran yang tak boleh diajarkan pada masyarakat awam, sebab ajaran-ajaran itu bisa membawa pada kesesatan umat. Ia divonis mati dengan dikerangkeng lalu ditenggelamkan.

Hukuman itu pun dilaksan Syekh'Abd Al-Hamid dimasukkan dalam kerangkeng dan kerangkeng itu ditenggelamkan ke sungai. Namun, menurut cerita masyarakat setempat, disinilah muncul karamat tokoh yang disebut masyarakat sebagai Syekh Abulung Meski ditenggelarnkan ke dasar sungai, ketika tiba waktu shalat, kerangkeng itu naik ke atas sungai kelihatanlah Syekh Abulung yang sedang melaksanakan shalat.

Setelah shalatnya selesai kerangkeng itu pun tenggelarn lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang dan populer dalam cerita rakyat. Tidak terlacak kernudian bagaimana kelanjutan hukuman mati atas Syekh 'Abd Al-Hamid ini. Yang jelas ketika ia meninggal, makarnnya tidak diketahui kecuali belakangan.

Selengkapnya »»

Kisah Datu Kalaka

Menurut cerita orang tua-tua beberapa abad yang lalu, di suatu kampung tinggallah seorang lelaki bernama Datu Kalaka. Ia amat disegani dan dihormati orang-orang di kampung itu karena ia menjadi pemimpin masyarakat di sana. Itu pula sebabnya ia diberi gelar datu oleh masyarakat.
Datu Kalaka disegani dan dihormati masyarakat, tetapi ia dibenci dan ditakuti Belanda. Ia sangat menentang Belanda dan memimpin perlawanan yang banyak meminta korban di pihak Belanda. Anehnya, walaupun pernah berkali-kali terkepung pasukan Belanda, Datu Kalaka selalu dapat meloloskan diri

Tersebar berita di masyarakat, khususnya di kalangan orang Belanda, bahwa Datu Kalaka mempunyai kesaktian menghilangkan diri. Walaupun orang biasa dapat melihat, orang Belanda tetap tidak mampu melihat. Hal itu membuat penasaran pihak Belanda. Dengan segala tipu daya, mereka berusaha menangkap Datu Kalaka. Mereka menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mampu menyerahkan Datu Kalaka hidup maupun mati kepada pihak Belanda
Oleh karena itu, Datu Kalaka selalu pindah tempat tinggal untuk menghindarkan diri dari Belanda. Jadi, jika Belanda berusaha mencarinya di kampung pasti sia-sia. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu, ia kembali ke rumah, berkumpul dengan keluarga dan masyarakat sekitar.
Karena sudah cukup lama Belanda tidak pernah datang ke kampungnya, Datu Kalaka merasa aman dan tidak perlu pindah tempat tinggal. Ia menetap di kampung sambil mengerjakan ladang dan kebun serta memimpin masyarakat.
Pada suatu hari, ketika Datu Kalaka sedang bersantai di rumah, ada orang datang memberitahu bahwa pasukan Belanda memasuki kampung. Tentu mereka akan menangkap Datu Kalaka.
Sebagai seorang datu, Datu Kalaka tidak mau menunjukkan kekhawatirannya di hadapan orang lain. Ia juga tidak ingin menyelamatkan diri sendiri jika masyarakat menjadi korban karenanya. Oleh karena itu, ia menyuruh penduduk menyelamatkan diri. Setelah itu, ia memikirkan cara untuk meloloskan diri. Sayang, tempat tinggalnya sudah dikepung Belanda. Tidak mungkin lagi ia lepas dari sergapan. Jika sampai tertangkap, ia tidak dapat membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya. Mungkin ia akan disiksa, dikurung, bahkan dibunuh. Jika ia melawan, berarti bunuh diri.
Datu Kalaka tidak ingin ditangkap dan tidak mau mati konyol. Ia berpikir cepat dan memutuskan mengambil jalan nekat yang tidak masuk akal. Jika jalan yang ditempuh itu ternyata meleset, nyawa taruhannya.
Ketika pasukan Belanda memasuki kampung, mereka amat penasaran karena kampung sepi. Rumah-rumah kosong. Belanda marah dan melampiaskan kemarahan mereka dengan menghancurkan kampung itu. Mereka berpencar dan memeriksa segenap pelosok kampung.
Mereka kaget ketika tiba-tiba melihat suatu pemandangan aneh tapi nyata di suatu lorong. Sebuah ayunan raksasa! Kedua sisi kain panjang yang dijadikan ayunan itu diikat wilatung (sejenis rotan yang besar batangnya) ditautkan ke puncak betung (bambu besar) yang ada di kiri kanan lorong itu. Mereka amat terkejut ketika menengok ke dalam ayunan yang berada di tengah-tengah lorong. Di dalam ayunan itu terbaring dengan tenangnya seorang bayi raksasa sebesar ayunan. Bayi itu menatap serdadu Belanda yang berdiri di sekeliling ayunan, kemudian ia memejamkan mata. Ukuran bayi itu lebih besar dan panjang daripada ukuran orang dewasa yang normal. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu, bahkan berkumis dan bercambang lebat.
Seluruh anggota pasukan Belanda gemetar ketakutan. Jika bayinya saja sebesar itu, apalagi orang tuanya. Pasukan Belanda pun hilang keberaniannya. Mereka segera meninggalkan bayi raksasa dan kampung yang telah kosong itu untuk kembali ke markas.
Bayi raksasa itu ternyata Datu Kalaka. Sebelum pasukan Belanda datang, ia sempat membuat ayunan. Kemudian, ia berbaring di dalam ayunan itu dan berlaku seperti bayi.
Di Kabupaten Hulu Sungal Tengah Propinsi Kalimantan Selatan sekarang masih ada sebuah desa bernama Kalaka. Konon, nama itu diambil dari nama Datu Kalaka. Di sana juga ada sebuah makam, menurut orang tua-tua makam itu makam Datu Kalaka. Makam itu luar biasa besarnya, jarak antara nisan yang satu dengan nisan lainnya kucang lebih dua meter. Orang percaya bahwa tubuh Datu Kalaka itu tinggi besar, lebar dadanya kurang lebih tujuh kilan (jengkal).

Selengkapnya »»

Nisan Berdarah ( Romeo n Juliet Martapura )

Mashor adalah pemuda yang bertempat tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong.



Mashor berasal dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah didengar.



Mashor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai pembantu.


Fatimah merupakan anak gadis dari keluarga sangat kaya. Mereka tinggal disebarang desa Mashor, mungkin sekarang daerah Kampung Melayu



Orang tuanya merupakan pedagang yang kaya dan mempunyai hubungan dagang sampai keluar daerah. Terutama di daerah Singapura.


Mashor sebagai pembantu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu, dan lain-lain.

Hari demi hari, bulan demi bulan itu saja yang dilakukannya untuk membiayai hidupnya dan orang tuanya.



Selama beberapa tahun Mashor bekerja dirumah kaya itu membuat Fatimah secara tidak sadar jatuh cinta kepadanya, begitu juga sebaliknya Manshor.



Tetapi karena adat yang menjaga ketat pertemuan antara perawan dengan bujangan itu, membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga Fatimah.


Mashor sadar percintaan mereka pasti akan ditentang oleh keluarga Fatimah yang memegang teguh adat istiadat keluarga.



Mereka hanya akan menikahkan anak gadisnya, kepada orang yang sederajat, dan mempunyai hubungan keluarga bangsawan, dan juga pasti tentu harus pilihan keluarganya.



Tetapi Cinta di hati tidak bisa menolaknya.



Tidak lama kemudian hubungan mereka mulai diketahui orang tua Fatimah.



Betapa marahnya orang tua Fatimah mengetahui hal demikian.



Mereka memutuskan untuk menjauhkan Mashor dari Fatimah, dengan menugaskan Mashor menjaga kebun karet dan ladang keluarga Fatimah di seberang sungai.


Kebun karet ini berada jauh dari rumah Fatimah, menujunya hanya bisa dengan perahu “jukung” karena melewati sungai yang kecil.



Mashor diberikan pondok kecil untuk berteduh dan melakukan kegiatan sehari-hari.



Setiap hari dia bekerja merawat kebun karet tersebut. Setiap hasil karet hanya orang suruhan keluarga Fatimah saja yang mengambilnya.



Dia tidak diberikan kesempatan untuk ke rumah sang Majikan.



Fatimah mengetahui kabar Mashor hanya dengan meminta keterangan Acil Ijah, pembantu yang sering mengatarkan beras buat Mashor.



Suatu hari ada orang kaya bernama Muhdar, yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah, badatang (melamar) ke rumah Fatimah, dengan menggunakan satu buah kapal yang sangat besar sesuai dengan derajat kekayaan orang tersebut.



Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran.



Hal ini tentunya tidak menjadi beban bagi Muhdar, karena kekayaannya.


Fatimah sangat menentang niat orang tuanya, yang menjodohkannya dengan Muhdar.



Dia kenal betul perangai Muhdar, Walaupun dia kaya raya, tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik Mashor.



Tetapi dia harus menjalankan dua pilihan yang sangat berat,



Di satu sisi dia mempunyai pilihan cinta, yang diyakininya bisa membawa kebahagian di dunia dan di akhirat, yaitu hidup bersama Mashor.



Di sisi lainnya. dia harus mengikuti perintah orang tuanya, dia sadar menyakiti hati orang tua adalah perbuatan yang durhaka.



Akhirnya Fatimah pasrah terhadap perjodohan ini, Perjodohan yang dilandasi oleh harta dan hubungan keluarga bukan oleh Cinta.



Mashor yang berada jauh tidak mengetahui perjodohan ini,Semuanya yang datang ke gubuk Mashor bekerja selalu menutupinya. Mereka tidak ingin dipecat majikannya jika menceritakan hal tersebut kepada Mashor.


Akhirnya, Acara pernikahan dimulai. Muhdar datang dengan beberapa kapal besar yang membawa mas kawin atau jujuran. Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap, ada kapal yang membawa perhiasan emas dan batu permata, dan ada kapal yang membawa pakaian wanita yang indah-indah.

Bagi mereka semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarganya ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di Singapura.



Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia, Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera.


Pada malam harinya ketika semua kelelahan.

Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam pertama itu terjadi. ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur yang lupa dimatikan.



Muhdar lari keluar dengan segera tanpa memperdulikan Fatimah.

Api semakin membesar sedangkan Fatimah terjebak di dalamnya.



Mashor yang belum tidur, melihat dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan kebakaran. Dia yakin kebakaran itu berada di rumah Fatimah.



Tanpa peduli aturan majikannya, yang tidak memperbolehkannya mendekati rumah majikannya.



Dia langsung berlari mengambil jukung.

Setelah sampai di rumah Fatimah, dia di beritahu bahwa Fatimah terjebak di dalam rumah yang terbakar itu.

Dengan kekuatan Cintanya, dia terobos api dan menemukan Fatimah pingsan karena terlalu banyak menghirup asap.



Dia angkat Fatimah melewati api yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari api dan kayu rumah yang berjatuhan.



Setelah dia bawa keluar Mashor disambut Muhdar dengan merebut Fatimah dari pangkuan Mashor. Dengan demikian Mashor akhirnya mengetahui perkawinan tersebut. Belum sempat dia mendapatkan penjelasan, Mashor pingsan karena terlalu banyak luka bakar yang dialaminya.



Keluarga Fatimah memerintahkan agar mashor dirawat kembali di gubuk tempatn dia bekerja. Dan menginginkan agar peristiwa heroic ini jangan sampai diketahui oleh Fatimah.



Subuh harinya mashor tidak bisa bertahan. Dia meninggal karena luka bakar yang terlalu parah..



Setelah sholat dzuhur dia dimakamkan di daerah perkebunan karet tersebut. Atau tepatnya sekarang berada di desa Tungkaran.



Makam Mashor sederhana, dengan nisan ulin, Untuk mencegah babi hutan kuburannya juga dipagar bambu.



Semuanya berada di pemakaman, baik teman-teman Mashor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah tidak mengetahui kematian Mashor. Dia masih lemah di dalam kamar rumah Muhdar. Dia masih bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, sedangkan suaminya sendiri meninggalkannya saat kebakaran itu terjadi.



Sewaktu malam hari pertanyaan itu dikeluarkannya ke pada Acil Ijah yang sejak kecil merawatnya.



Acil Ijah tahu betul perasaan Fatimah kepada Mashor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak kecil dia pelihara tersebut, akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu.



Fatimah yang sangat rindu kepada Mashor, akhirnya menanyakan keberadaan Mashor.



Dengan sangat hati-hati Acil Ijah menceritakan kematian Mashor dan memberitahukan letak kuburannya.



Dan Dia berjanji, akan menemani Fatimah besok untuk ziarah ke kuburan Mashor.


Fatimah Sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadi-jadinya.



Setelah semua orang terlelap tidur, kira-kira jam 3subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah.



Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan ke kuburan Mashor.



Dia tidak yakin kekasihnya itu sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung.



Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil.



Malam itu hujan turun dengan derasnya. Tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama, yaitu nama Mashor. Dipikirannya hanya ada satu wajah, yaitu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti akan dirinya.



Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya ingin bertemu Mashor.



Dia melihat Mashor berdiri dan tersenyum kepadanya, di tengah rintikan hujan.



Tanpa berpikir panjang lagi. Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya itu, untuk melepaskan segala kerinduannya.



Fatimah menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah pun mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya.



Fatimah meninggal dengan senyum, karna dia yakin telah menemukan cintanya.

Selengkapnya »»

Kisah datu sanggul ( rantau /tatakan )

Konon Datu Sanggul, yang nama aslinya Abdus Samad,dari Palembang datang kedaerah Tatakan, Rantau dengan tujuan untuk memperdalam Ilmu agama kepada Datu Suban.
Maksud datu Sanggul itu diterima Datu Suban dengan senang hati. Sejak itu Datu Sanggul terus belajar dengan rajin bersama murid-murid lainnya. Karena kerajinan, kecerdasam dan ketaatannya beliau kepada guru, Datu Suban pun berkenan memberikan seauah kitab yg dikenal dengan sebutan Kitab BARENCONG.
Berkat mengamalkan ilmu yg di peroleh baik lewat guru maupun lewat membaca Kitab Barencong, Oleh Allah beliau di beri kesaktian atau keramat, yaitu dapat shalat setiap Jum'at di Masjidil Haram,Makkah.

Karena itu pula, oleh masyarakat beliau di cap sebagai orang yg melanggar syariat karena beliau tidak pernah terlihat shalat Jum'at di Masjid Tatakan.
Pernah suatu hari, hari Jum'at, seseorang datang ke rumah beliau untuk mengajak shalat Jum'at bersama beliau di masjid Tatakan. Mulanya beliau menolak tetapi karna dipaksa beliaupun berangkat ke masjid bersama orang itu.Tetapi anehnya, menurut penglihatan orang yg mengajak beliau itu hanya beberapa orang yg shalat di masjid itu berbentuk manusia, yg lainnya berbentuk hewan semua. Seusai shalat jum'at orang itu menanyakan prihal yg dilihatnya barusan Kepada Datu Sanggul. Kata Datu Sanggul, mereka pergi ke masjid bukan karna Allah, bukan karna untuk beribadat tetapi karena adat.

Kejadian lain, ketika beliau pergi ke masjid Muning, tepat jam dua belas, beliau terus melompat kedalam sungai sehingga orang yg ada disekitar masjid itu kaget dan berteriak, mengapa melompat kedalam sungai. Ketika semua orang panik, timbullah Datu Sanggul kepermukaan sungai dan langsung naik ke mesjid, anehnya hanya anggota wudhu yg basah, yg lainnya seperti baju, laung, sarung dan sajadah beliau tidak basah.
Ketika orang-orang mengangkat takbir memulai Shalat Fardhu jum'at, beliau hanya berpantun :

RIAU-RIAU PADANG SI BUNDAN

DISANA PADANG SITAMU-TAMU

RINDU DENDAM TENGADAH BULAN

DI HADAPAN ALLAH KITA BERTEMU " ALLAHU AKBAR"

Setelah mengatakan ALLAHU AKBAR Tubuh beliau berada diawang-awang hingga selesai orang mengerjakan shalat jum'at.
Melihat keadaan Datu Sanggul yang demikian, orang-orang yang berada di mesjid menjadi heran, saat orang-orang menjadi keheranan, Datu Sanggul lalu menginjakkan kakinya di lantai.
"Aku tadi shalat di Makkah, kebetulan di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit, mari kita cicipi bersama walau sedikit" kata Datu Sanggul disaat orang-orang masih keheranan.

Maka orang-orang yang berada dimasjid pun ramai-ramai mencicipi nasi yang di bawa Datu Sanggul Dari Makkah itu.
Sejak kejadian itu orang-orang tidak berani lagi mengatakan ini dan itu kepada beliau. Sedangkan Datu Sanggul tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya, jarang bergaul dan setiap Jum'at shalat ke Masjidil Haram, Makkah.
Karena seringnya shalat Jum'at di Masjidil Haram,Makkah, maka beliau pun dapat berkenalan dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang sedang menuntut ilmu di Tanah suci Makkah. Dari perkenalan itu membuahkan persahabatan.
Datu Sanggul Selalu membawakan oleh-oleh dari tanh air seperti cempedak, konon cempedak yang diberikan kepada Muhammad Arsyad masih bergetah, sebagai tanda baru saja dipetik dan sebagai tanda bahwa perjalanan Datu Sanggul dari Tatakan ke Makkah hanya sebentar.
" Guru, apakah durian yang ada didalam istana itu sudah berubah??? "kata Muhammad Arsyad pada satu hari kepada Datu Sanggul.
" Sudah, dua biji buahnya, nanti aku ambilkan" sahut Datu Sanggul.
Pada Jum'at berikutnya sebelum berangkat ke Makkah, Datu Sanggul singgah sebentar di istana memetik buah durian satu biji tanpa sepengetahuan penjaganya.
Setelah sampai di Makkah durian itu diberikan kepada Muhammad Arsyad.
Sebagai bukti keduanya bersahabat, kitab Datu Sanggul hasil berguru dari Datu Suban, dipotong dua secara rencong, kitab tersebut dipotong Datu Sanggul dengan kuku jari beliau, setelah Muhammad Arsyad gagal memotongnya dengan menggunakan mandau.
Hasil potongan itu, satu diberikan kepada Muhammad Arsyad dan yang satunya disimpan oleh Datu Sanggul.

Setelah Muhammad Arsyad selesai menuntut ilmu, beliau pulang ke tanah Banjar.
Beliau ingin menemui sahabat sekaligus gurunya di Tatakan, tetapi sayang, setelah sampai di Tatakan Datu Sanggul sudah berpulang ke Rahmatullah.

Selengkapnya »»

syair saraba ampat

Allah jadikan saraba ampat
Syariat Thoriqat Hakikat Makrifat
Menjadi satu di dalam khalwat
Rasanya nyaman tiada tersurat

Huruf Allah ampat banyaknya
ALIF `itibar dari pada Zat-Nya
LAM AWAL dan AKHIR sifat dan asma
HA isyarat dari ap`al-Nya

JIBRIL - MIKAIL malaikat mulia
Isyarat sifat JALAL dan JAMAL
IZRAIL - ISRAFIL rupa pasangannya
`Itibar sifat QAHAR dan KAMAL

JABAR - AIL asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Allah itu artinya
JALALULLAH bahasa Arabnya

NUR MUHAMMAD bermula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya.

Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Menjadi awak barupa rupa
Tulang sungsum daging dan darah

Manusia lahir ke alam insan
Di alam Ajsam ampat bakawan
Si TUBANIYAH dan TAMBUNIYAH
URIAH lawan Si CAMARIAH

RASA dan AKAL, DAYA dan NAFSU
Didalam raga nyata basatu
AKU meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka ujung kuku

TUBUH dan HATI, NYAWA - RAHASIA
Satu yang zhohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
ALAM SHOGHIR itu sabutnya

MANI-MANIKAM-MADI dan MADZI
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya tahu Allahu Rabbi

Ka-ampat ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kepada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah

Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya si kulit kijang
Agung dan Sarun babun dikancang
Kaler bapasang di atas gadang

Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Samua majaz harus dipandang
Simpur balalakun hanya saorang

SAMAR, BAGUNG si NALAGARING
Si JAMBULITA suara nyaring
ampat isyarat amatlah panting
Siapa handak mencari haning

Selengkapnya »»