Sejarah mencatat, bahwa perkembangan tasawuf di Indonesia –dan juga di Tanah Banjar– tidak hanya didominasi oleh aliran tasawuf akhlaki yang dikenalkan sufi Hasan al-Basri ataupun Junaid al-Baghdadi, tetapi juga aliran tasawuf wahdatul wujud yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M) dengan paham al-Fana al-Baqa dan al-Ittihad, Husien ibnu Mansur al-Hallaj (858-922 M) dengan paham al-Hulul, dan Muhyiddin Ibnu Arabi (1165 M-1240), dengan teori Khalq dan al-Haq.
Pengaruh pemikiran tasawuf wahdatul wujud terlihat dari paham tasawuf yang disampaikan Hamzah Fansuri (dari Aceh), Syekh Syamsuddin as-Sumatrani (Sumatera), Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti-nya (Jawa). Sementara, untuk kawasan Kalimantan, khususnya Tanah Banjar tokoh tasawuf yang dianggap wahdatul wujud dan sangat populer adalah Syekh Abdul Hamid Abulung.
Legenda tentang ajaran dan meninggal Syekh Abulung sampai sekarang masih kontroversial. Kemunculan dan kepergiannya dianggap sangat mengejutkan dan menggemparkan berbagai kalangan dan masyarakat luas, karena ajaran tasawuf wahdatul wujudnya. Pengaruhnya sangat besar ketika ia menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat dan menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”. Walaupun tidak meninggalkan karya tulis dan lebih bersifat tokoh lokal, namun ketokohan Abdul Hamid diakui dan ajarannya –yang dikenal dengan istilah Ilmu Sabuku– disampaikan oleh orang-perorang hingga sekarang secara lisan. Siapakah Syekh Abdul Hamid Abulung dan bagaimana paham tasawuf wahdatul wujudnya?
Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sejarah hidup dan pemikiran Syekh Abulung sebagai salah seorang icon khazanah intelektual Islam Banjar sangat sedikit, dan bisa dihitung dengan jari. Dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang mengupas tentang riwayat hidup, perjuangan, pemikiran dan karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, atau pula pula Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husien al-Banjari yang meninggalkan karya tulis Ad-Durr al-Nafis dan namanya termaktub dalam salah satu entri di Ensiklopedi Islam Indonesia, sehingga dikenal tidak hanya di Tanah Banjar akan tetapi juga di Asia Tenggara. Lebih-lebih lagi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datu Kalampayan, penulis kitab Sabil al-Muhtadin.
Secara khusus, Syekh Abdul Hamid memang tidak meninggalkan karya tulis yang bisa dirujuk untuk mengkaji paham tasawufnya, tahun kelahirannyapun tidak diketahui secara pasti. Karena itulah dan sampai sekarang figur tokoh ini masih menyisakan sejumlah misteri, baik berkenaan dengan riwayat hidup maupun ajaran tasawufnya. Walaupun demikian, dalam salah riwayat misalnya hasil penelitian Sahriansyah dan Syafruddin (2003) berkenaan dengan Studi Naskah Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung dikatakan bahwa Abdul Hamid bukanlah asli orang Banjar, tetapi ia berasal dari negeri Yaman dan lahir pada tahun 1148 H/1735 M dan wafat 12 Dzulhijjah 1203/1788M. Sementara, ketika hukuman mati diputuskan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1203 H/1788 M atas perintah Sultan Tahmidullah II (1785-1808 M), di Martapura ia telah berusia 55 tahun. Riwayat lain menjelaskan hukuman mati tersebut atas perintah Sultan Adam, karena pada masa inilah syariat Islam dalam bentuk Undang-Undang Sultan Adam atau UUSA diterapkan di seluruh wilayah kerajaan Islam Banjar. Syekh Abulung kemudian dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.
Berdasarkan pendapat ini, maka hitungan usia Syekh Abdul Hamid jelas lebih muda dari usia Syekh Muhammad Arsyad, yang dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H/19 Maret 1710 M, kurang lebih bertaut 25 tahun.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Abulung hidup sezaman dengan Datu Kalampayan adalah asli orang Banjar, beliau dilahirkan di Kampung Abulung (Sungai Batang, Martapura), yang bersebelahan dengan Kampung Dalam Pagar, yang dilekatkan dibelakang namanya. Karena sudah menjadikan kebiasaan untuk melekatkan atau menisbatkan nama seorang tokoh dengan nama tempat berasalnya, seperti Abdul Qadir “Jailani”, Imam “Nawawi”, Junaid “al-Baghdadi”, Muhammad Arsyad “al-Banjari”, dan sebagainya. Bahkan diungkapkan pula bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang putra Banjar yang diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama oleh Sultan, bersamaan dengan keberangkatan Syekh Muhammad Arsyad. Bedanya ketika di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad lebih mendalami ilmu syariat –di samping tasawuf–, sedangkan Abdul Hamid lebih mendalami ilmu hakikat (tasawuf) yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, karenanya ketika mereka kembali ke daerah ilmu yang mereka ajarkan kepada masyarakatpun sesuai dengan mengutamakan spesifikasi keahlian masing-masing. Pendapat ini dikaitkan dengan kelahiran Abdul Hamid, lemah argumentasinya. Karena rasanya tidak mungkin, sebab waktu berangkat ke Mekkah umur Syekh Muhammad Arsyad kurang lebih 30 tahun, sementara umur Abdul Hamid waktu itu baru 5 tahun, jika benar Syekh Abulung dilahirkan pada tahun 1735.
Menelisik dari gelar yang dilekatkan padanya, sebagaimana dijelaskan Humaidy (Kandil, 2003), secara kultural sebenarnya mengisyaratkan bahwa Abdul Hamid adalah salah seorang tokoh masyarakat Banjar yang disegani, mempunyai kekuatan magis dan supranatural, dan kedudukan sejajar dengan Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada namanya, menunjukkan status ketinggian ilmu yang dikuasainya, terutama dalam ilmu agama sekaligus pula meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Di samping itu, secara umum syekh juga mengisyaratkan bahwa penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain atau Mekkah dan Madinah (hal ini sinkron dengan pendapat yang menyatakan bahwa Abdul Hamid juga menuntut ilmu ke Mekkah)) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun Abdul Hamid tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Lebih dari itu, sebutan syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarekat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau badal.
Sementara, membaca riwayat hidupnya, sejarah hidup Abdul Hamid mirip dengan versi cerita Syekh Siti Jenar, yang ajarannya juga dianggap meresahkan masyarakat, sehingga harus dilenyapkan. Pihak kerajaan Banjar sesudah mendengar berbagai laporan tentang ajaran Syekh Abdul Hamid yang meresahkan, sehingga perlu untuk memanggil dan menguji kebenaran ilmu yang diyakininya. Panggilan yang disampaikan kepadanya dijawab persis seperti jawaban yang dikemukakan oleh Syekh Siti Jenar.
Namun pada akhirnya Abdul Hamid mau menghadap sultan, yang pada akhirnya oleh pihak kerajaan ia divonis hukuman dimasukan dalam kerangkeng besi dan ditenggelamkan ke sungai, namun ia tidak mati bahkan menurut cerita selama dalam kurungannya tersebut ia sempat memberikan pelajaran kepada sepuluh orang yang dikenal sebagai orang sepuluh. Kematian Abdul Hamid menurut versi yang beredar adalah dipenggal leher oleh senjatanya sendiri sebagaimana wasiat yang disampaikannya pada Sultan Banjar, dan pada cucuran darahnya kemudian membentuk tulisan kalimat tauhid laa ilaha illallah.
Menurut Ahmad Basuni (1986:49-51) keputusan menghukum mati Abdul Hamid Abulung tersebut didasarkankan fatwa Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf yang diajarkan Syekh Abdul Hamid Abulung kepada orang awam dapat menyesatkan akidah, membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama. Namun menurut tulisan dan wawancara penulis dengan Abu Daudi (penulis buku Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Tuan Haji Besar), bahwa keputusan hukum bunuh terhadap Syekh Abdul Hamid Abulung bukanlah keputusan atau restu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagaimana pendapat dari sebagian orang, sehingga kata mereka lantaran peristiwa hukum bunuh atau mati terhadap diri Syekh Abdul Hamid itu, mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak sehat diantara kedua keluarga tersebut, yang sampai sekarang katanya masih dirasakan oleh zuriat dari kedua belah pihak. Pendapat yang demikian sama sekali tidak benar. Meskipun Sultan melibatkan Syekh Muhammad Arsyad untuk dimintai pendapat, namun Syekh Muhammad Arsyad tetap mengembalikannya kepada Kerajaan dan menasihatkan agar dapat diselesaikan secara seksama dan bijaksana.
Hal menarik dikaji, pungkala umum yang menjadi sebab dihukum bunuhnya Abdul Hamid menurut tesis umum yang dipegang adalah karena ajaran Ilmu Sebuku atau paham tasawuf Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Abdul Hamid, benarkah demikian? Untuk menjelaskan hal ini, menarik kupasan yang dikemukakan oleh Humaidy (Kandil 2003) bahwa tasawuf Abdul Hamid bukan wahdatul wujud yang ekstrim sebagaimana yang dianut oleh Abu Yazid Bustami, Ibnu Arabi, ataupun Husien Manshur Al-Hallaj. Menurut Humaidy, ajaran tasawuf Abdul Hamid tidak bisa dimasukan dalam aliran ittihad, karena ia masih dalam tingkat fana wal baqa, itulah sebabnya ia hanya menyatakan: “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, sementara ittihad Abu Yazid menyatakan “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku” Atau pula jika dibandingkan dengan paham hulul-nya Al-Hallaj, karena Abdul Hamid telah melenyapkan diri dan menyatakan yang ada hanya wujud Tuhannya, sementara Al-Hallaj menyatakan bahwa dirinya telah melebur ke dalam diri Tuhannya. Begitu pula dengan tasawuf Ibnu Arabi yang sudah memakai kata “Engkau” untuk menunjukkan kedekatan dirinya, sedangkan Abdul Hamid masih memakai kata “Dia”.
Lalu jika tidak paham tasawuf yang dianutnya yang menjadi penyebabnya sebagaimana yang terjadi pada diri Hamzah Fansuri dan pengikutnya, Siti Jenar dan murid-muridnya, kira-kira apalagi? Apakah karena intrik dan manipulasi politik ataukah sejarah? Perlu penelitian dan penelusuran kembali jejak-jejak khazanah sejarah Banjar silam guna mengungkapkan fakta kebenaran, untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran generasi sekarang, menapak masa depan yang lebih cemerlang.
DATU ABULUNG
Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan, pada abad ke-18 terdapat tiga tokoh yang terkenal, yaitu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, Syekh'Abd Al-Hamid Abulung, dan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (Zafry Zamzam, 1979). Dua yang pertama, makamnya terdapat di daerah Martapura, sementara yang terakhir terdapat di daerah Hulu Sungai Utara (Amuntai).
Dibandingkan dengan kubah (makam) Syekh Arsyad Al-Banjari (1707-1812 M) yang di tanah seribu sungai ini lebih dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan, kubah Syekh 'Abd Al -Hamid Abulung, yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Abulung, tentu saja kurang terkenal. Ini disebabkan, selain karena tidak memiliki karya tulis, 'Abd Al-Hamid juga bisa dikatakan senasib dengan Syekh Siti Jenar di jawa yang meninggal karena dibunuh para wali akibat perselisihan mengenai pandangan keagamaan dalam tasawuf.
Baik Syek Siti Jenar maupun Syekh 'Abd Al-Hamid Abulung, keduanya sama-sama mengajarkan satu cabang filsafat yang kini kurang populer, yaitu metafisika. Pemikiran mereka sama dengan pemikiran Henry Bergson pada masa modern, Lao Tse dan Krishnamurti. di Timur, Paraselsus dan Plato serta Plotinus di masa Yunani, serta beberapa filusuf awal dalam pemikiran Islam.
Meskipun demikian, nasib Syekh 'Abd Al-Hamid agaknya lebih beruntung ketimbang Siti Jenar, sebab ia nyaris tidak memiliki citra yang pejoratif. Setidaknya ini tersirat dalam kenyataan bahwa dalam tradisi mamangan (bacaan semacam doa) Banjar, namanya juga sering disebut dan disandingkan dengan Syekh Arsyad Al-Banjari. Hal ini membuktikan, meskipun ajarannya dianggap menyimpang oleh jumhur ulama Banjar, namun di mata masyarakat Syekh 'Abd Al-Hamid tetap dianggap wali.
Histrogafi Syekh 'Abd Al-Hamid
Sukar melacak kapan tepatnya saat Syekh 'Abd Al-Hamid dilahirkan. Seperti halnya Syekh Siti Jenar, kehidupan Syekh 'Abd Al-Hamid pun secara umum sukar dilacak datanya. Namun demikian, yang pasti ia menyaksikan Kesultanan Banjar dipimpin oleh Sultan Tamhid Allah, yang berkuasa pada 1778-1808 M.
Di masa kekuasaan Sultan Tamhid Allah, kondisi politik Kesultanan Banjar mulai tidak kondusif. Perebutan kekuasaan antar pembesar kesultanan seringkali terjadi. Hal inilah yang mendorong Sultan Tamhid Allah bekerjasama dengan Belanda, untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai kompensasinya, Sultan Tamhid Allah harus menyerahkan sebagian wilayah kekuasaannya kepada Belanda. Hal ini terjadi pada 1787 M (Kutoyo dan Sri Sutjianingsih, 1977).
Meski kondisi politik Kesultanan Banjar tidak lagi kondusif, Banjar tetap menjadi pusat perdagangan yang paling strategis di wilayah Kalimantan. Kekayaan alamnya yang melimpah, seperti intan, emas, lilin, damar dan sarang burung walet yang merupakan komoditas internasional paling laris, menyebabkan Banjar tetap menjadi incaran para pedagang dari jawa, Makassar, Portugis, Inggris, dan Belanda. Ini artinya, Kesultanan Banjar yang terletak di pesisir pantai selatan Kalimantan merupakan wilayah terbuka, baik untuk kepentingan dagang, politik, maupun penyebaran agama.
Walaupun Kesultanan Banjar dikenal sangat terbuka bagi masyarakat pendatang dari berbagai penjuru dunia, yang berbeda etnik maupun agama, para pembesar kesultanan dikenal sangat taat memeluk Islam. Untuk menunjang spiritualnya itu, para penguasa Banjar mengangkat para ulama menjadi guru spiritualnya, sekaligus menjadi pejabat-pejabat kesultanan.
Konon Syekh 'Abd Al-Hamid, dalam salah satu sumber, pernah mendapatkan perlakuan istimewa oleh para Kesultanan Banjar. Dalam penelitian H.A. Rasyidah disebut Syekh 'Abd Al-Hamid pernah menjabat posisi strategis di Kesultanan Banjar tepatnya sebagai mufti (Rasyidah: 1990). Tapi tampaknya, hasil penelitian H.A. Rasyidah kurang bisa diterima oleh kalangan sejarawan. Pasalnya, seperti diutarakan Zafry Zamzam Steenbrink, dan Azyumardi Azra, kedatangan Syekh 'Abd Al-Hamid ke Kalimantan Selatan, adalah beberapa tahun setelah Arsyad Al- Banjari kembali dari Arabia. Padahal, Arsyad Al-Banjari langsung diangkat menjadi mufti. Pertanyaannya, kalau Arsyad Al-Banjari diangkat mufti sekembalinya dari Arabia, lantas kapan 'Abd Al-Hamid berkesempatan menjadi mufti?
Terlepas kontroversi jelas 'Abd Al-Hamid pernah leluasa mengajarkan pandangan tasawuf wahdah al-wujud (wujudiyyah) Ibn 'Arabi' (1165-1240). Pandangan tasawuf wahdah al-wujud yang dianut Syekh 'Abd Al-Hamid ini dipengaruhi aliran ittihad-nya Abu Yazid Al-Busthami (w. 873 H) dan hulul-nya Al-Hallaj (w. 923 H) yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumatrani serta Syekh Siti Jenar dari jawa.
Perlu dicatat disini, agaknya puritanisme ajaran tasawuf Hamid ini banyak dipengaruhi kondisi sosial Kesultanan Banjar yang sangat terbuka bagi siapapun yang ingin "berinvestasi," termasuk aliran agama di Banjar. Keterbukaan yang dikondisikan inilah, yang memudahkan Syekh 'Abd Al-Hamid mempelajari tulisan-tulisan para penganut tasawuf falsafi tersebut.
Kesempatan Syekh 'Abd Al-Hamid mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai mendapatkan sandungan ketika tersiar sampai ke telinga Sultan Tamhid Allah dan Syekh Arsyad Al-Banjari bahwa ajaran yang dibawanya dianggap meresahkan masyarakat Dilaporkan, 'Abd Al-Hamid mengajarkan orang-orang, bahwa "tidak ada wujud kecuali Allah. Tidak ada 'Abd Al-Hamid kecuali Allah; Dialah aku dan akulah Dia. Dan sangat kebetulan, Syekh Muhammad Arsyad, sebagai penganut ajaran Syekh b. 'Abd Al-Karim Al-Sammani Al-Madani guru dari tokoh-tokoh tarekat Sammaniyyah Nusantara memang tidak sepakat dengan Wujudiyyah-nya Syekh 'Abd Al-Hamid dan bahkan menganggapnya musyrik.
Akibat dari pernikirannya inilah, Syekh 'Abd Al-Hamid Abulung hidupnya di tangan para algojo Kesultanan Banjar. la dihukum mati oleh keputusan Sultan Tamhid Allah, atas Pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar (Alfani Daud, 1997). Peristiwa ini, hingga kini belum bisa ketahui secara pasti, kecuali hanya dugaan terjadi pada awak abad ke-18, dimana eksekusinya dilakukan di Abulung, yang kini termasuk wilayah kampung Sungai Batang, Martapura, Kalimantan Selatan. Makamnya sendiri sempat tidak diketahui oleh masyarakat, seperti dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar, yang hingga kini makamnya masih menjadi misteri.
Baru belakangan makamnya diketahui terletak kira-kira dua atau tiga kilometer di sebelah hilir Dalam Pagar -kampung yang dikenal sebagai tempat menuntut ilmu keagamaan di Kalimantan Selatan (A. Steenbrink, 1984), dalam kondisi tidak berpagar. Kuburan ini ditemukan atas petunjuk tuan guru (kiai) Haji Muhammad Nur, seorang ulama dan guru tarekat di Takisung (Kabupaten Tanah Laut), yang kemudian dibangunkan kubah-nya. Tuan guru Haji Muhammad Nur sendiri mengaku sebagai keturunan langsung dari Syekh 'Abd Al-Hamid.
Hingga kini, makam Syekh'Abd Al-Hamid masih banyak dikunjungi umat Islam karena dianggap memiliki karamat. Di antara karamat-nya yang nampak adalah makamnya, yang berada di pinggir sungai, tak bisa dihanyutkan air. Padahal makam tersebut sering tergerus air. Namun ketika makam itu telah turun, secara ajaib makam itu naik lagi dan tanah pun menyangga makam itu lagi.
Pemikiran Syekh 'Abd Al-Hamid
Berbeda dengan Syekh Arsyad yang terkenal karena magnum opus-nya, Sabilal-Muhtadin -buku fiqh berbahasa Melayu- yang menentang doktrin wujudiyyah mulhid, Syekh 'Abd Al-Hamid dinilai kering karya. Karena hingga kini, hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh 'Abd Al-Hamid mengenai tasawuf yang bisa dilacak, dan itupun sangat terbatas. Di Banjar sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh 'Abd Al-Hamid. Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai "Asal Kejadian Nur Muhammad". Namun, tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.
Sebagai penganut paham tasawuf falsafi, Syekh'Abd Al-Hamid menyindir bahwa ilmu keagamaan yang diajarkan selama ini hanyalah kulit "syariat," belum sampai kepada isi "hakikat". Selain itu salah satu ujarannya yang cukup dikenal adalah berupa konsep: "Tiada maujud, melainkan hanya Dia, tiada wujud yang lainnya. Tiada aku, melainkan Dia dan aku adalah Dia...". (Zamzam, 1979). Doktrin tasawuf ittibad dan hulul yang seringkali mengumandangkan pandangan tentang kesatuan makhluk dan Tuhan tersebut tentu saja menantang otontas istana dan ulama secara telak.
Pasalnya, manakala istana membutuhkan agar rakyat mengakui otoritasnya yang tinggi dan terhubung dengan ilahi, pandangan yang menyatakan bahwa yang ilahi justru terdapat dalam segala makhluknya tersebut jelas merupakan pandangan yang subversif. Oleh karena itu, ketika Syekh 'Abd Al-Hamid mengajarkan ajaran ini pada masyarakat umum jelas kalangan istana sangat khawatir. Atas dasar itulah Sultan Tahmid Allah yang memerintah Kesultanan Banjar masa itu memanggil Syekh Abd Al-Hamid ke istana.
Kemudian, diutuslah para punggawa untuk menjemputnya. Ketika para punggawa telah sampai di depan rumah Syekh 'Abd Al-Hamid, mereka menyeru bahwa Sultan memang agar ia segera pergi ke istana untuk menghadap. Di luar dugaan c ari rumah Syekh 'Abd Al-Hamid suara: "Di sini tidak ada 'Abd Al-Hamid yang ada hanyalah Allah (Tuhan)." Para punggawa yang tak pernah menghadapi hal ini akhirnya kembali ke istana untuk melapor. Mereka lalu disuruh ke untuk menjemput (si) Allah/ 'Abd Al-Hamid itu. Ketika di depan rumah Syekh 'Abd Al-Hamid, para pun menyeru bahwa (si) Allah diminta datang ke istana. Dari dalam keluar seruan, "Allah tidak bisa diperintah. Dan, di sini tidak ada Allah yang ada hanyalah 'Abd Al-Hamid." Para punggawa kembali lagi ke dengan tangan kosong. Lantas mereka diperintah agar memanggil dan membawa keduanya baik Allah maupun si 'Abd Al-Hamid. Kembalillah para punggawa itu dan barulah 'Abd Al-Hamid turut serta.
Prosesi persidanganpun, dengan terdakwa utama Syekh 'Abd Al-Hamid digelar. Pihak istana Sultan Tahrnid Allah atas fatwa Syekh Arsyad Al-Banjari akhirnya memutuskan bahwa Syekh 'Abd Al-Hamid bersalah dan harus dihukum mati karena mengajarkan ajaran-ajaran yang tak boleh diajarkan pada masyarakat awam, sebab ajaran-ajaran itu bisa membawa pada kesesatan umat. Ia divonis mati dengan dikerangkeng lalu ditenggelamkan.
Hukuman itu pun dilaksan Syekh'Abd Al-Hamid dimasukkan dalam kerangkeng dan kerangkeng itu ditenggelamkan ke sungai. Namun, menurut cerita masyarakat setempat, disinilah muncul karamat tokoh yang disebut masyarakat sebagai Syekh Abulung Meski ditenggelarnkan ke dasar sungai, ketika tiba waktu shalat, kerangkeng itu naik ke atas sungai kelihatanlah Syekh Abulung yang sedang melaksanakan shalat.
Setelah shalatnya selesai kerangkeng itu pun tenggelarn lagi. Hal itu terjadi berulang-ulang dan populer dalam cerita rakyat. Tidak terlacak kernudian bagaimana kelanjutan hukuman mati atas Syekh 'Abd Al-Hamid ini. Yang jelas ketika ia meninggal, makarnnya tidak diketahui kecuali belakangan.
Selengkapnya »»