Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.
Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.
Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.
Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.
Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.
Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.